Salahkah aku atas perasaan ini ? Yang tak mampu menutupi aku masih cinta kamu. Biarkan aku pilih jalan tuk sendiri tanpa harus ada lagi cinta selain dirimu, kasih. Keyakinan yang memisahkan kita. Buat ku bertanya, adilkah ini ?
+++
Para jemaat sudah pulang, bahkan mungkin ada yang sudah pergi ke tempat lain. Bahkan penjaga gereja pun sudah dua kali mengingatkan padanya bahwa gereja harus segera ditutup. Besok gereja dipakai untuk sebuah acara pernikahan, jadi hari ini harus segera dibersihkan dan dirapikan, juga sedikit dihias. Tapi Rio terlalu khidmat dalam berdoa. Telapak tangannya saling bertaut. Bibirnya bergerak-gerak kecil. Sesekali ia menghela nafas berat. Tadinya Rio duduk di barisan agak belakang, tapi sekarang ia bersimpuh tepat di altar depan. Rio semakin khidmat berdoa. Sentuhan lembut di bahunya menyadarkan Rio.
“Agni ? Kenapa masuk ?” Rio terpekik kaget setengah heran. Cepat-cepat ia tarik Agni keluar gereja. “Kenapa masuk ?” Rio kembali bertanya saat mereka sudah berada di dalam mobil. Ia sempat melirik sebal kepenjaga gereja yang juga memasang tampang sebal.
“Tadi kata penjaga gereja, gerejanya harus segera dibersihkan. Dan dia nyuruh aku jemput kamu.”
“Ck,,, dasar.” Umpat Rio. Kali ini tatapan garang ia lempar kepenjaga gereja. Tapi sialnya si penjaga gereja sudah hilang entah kemana. Ia menata Agni, lalu mengelus lembut jemari gadisnya itu. “Kamu kan bisa telpon aku. Gak usah pake masuk.”
Agni tersenyum kecil. “Kamu kan selalu nonaktifin hp kalau sedang di dalam gereja.”
Rio terkikik malu. Benar juga kata Agni. Tapi wajar saja bila penjaga gereja itu menyuruh Agni menjemputnya. Tadi dia benar-benar lupa semua. Dia hanya ingin berdoa terus pada Tuhan. Mungkin saja pun Agni bosan menunggu terlalu lama di mobil. Rio mengacak rambut Agni. Ia hidupkan mesin mobil, dan pergi. Sesekali ia melirik Agni yang tampak duduk manis sambil meneliti gerimis. Agni, Agni, dan Agni. Rio terkadang heran. Kenapa ia bisa sampai tergila-gila pada gadis yang bahkan kata beberapa temannya tak istimewa sama sekali. Postur Agni tidak bisa dikatagorikan langsing, tidak juga gemuk. Tapi ya cukup lah. Agni tidak berkulit putih seperti kriteria cewek yang diidam-idamkannya. Rambut Agni bahkan hanya sebahu lebih panjang, dan itupun selalu dikonde asal-asalan. Agni tidak feminim sama sekali, tapi bukan berarti urakan juga. Bisa di bilang, nilai Agni hanya sedikiiiit di atas rata-rata. Sedikit sekali. Tapi sekali lagi Rio selalu berdecak heran, dari pertama ia bertemu Agni, ia langsung suka bahkan jatuh cinta. Dan sampai hubungan mereka memasuki tahun ketiga. Rasa cinta Rio tidak berkurang sedikitpun. Malah semakin besar.
Agni memalingkan wajahnya. “Yo, ajak anak-anak ke pantai donk. Aku bosen nih. Masa’ tiap minggu kita gini-gini aja. BT tau.” Rio terkikik geli kalau sudah melihat Agni merengek begini. Muka Agni jadi lucu. Pipi ia kembungkan, dan manyun. Muka ditekuk-tekuk. Dan yang paling lucu itu, Agni selalu meniup-niup poninya jika sedang ngambek. Rio semakin dibuat gemas.
“Ajak semuanya ?”
Agni mengangguk semangat. “Iya. Semuanya. Kan rame-rame enak, Yo. Sekalian cuci mata.” Setelah itu Agni terkikik-kikik sendiri sambil memainkan embun di kaca mobil. Rio memicing curiga mendengarnya.
“Seneng amat, Mbak ?”
“Cieee,,, Ayank Io cemburu nih. Gak kok. Becanda. Maksud aku tuh sekalian refresing.” Agni mencium sekilas pipi kiri Rio. Rio langsung mengubah raut curiganya menjadi senyum bahagia.
Ini yang paling Rio suka dari Agni. Agni-nya ini ceria, lucu dan ngegemesin. Rio segera mencubit pipi chubby Agni dan balas mencium pipinya. Rio melajukan mobilnya ke rumah Alvin. Kalau dipikir-pikir, benar juga ide Agni. Ke pantai ide yang brilian setelah dua minggu berkutat dengan soal-soal UAS. Alvin dan Cakka pasti setuju. Rio mengambil hp-nya dan segera mengirim pesan singkat pada Cakka. menyuruh Cakka untuk stay di rumah Alvin. Rio jadi tidak sabar untuk berselancar dengan Agni. Pasti seru. Senyum Rio semakin merekah-rekah.
+++
Pantai hari ini tidak seperti biasanya. Kalau biasanya hari libur ramai, tapi hari ini terbilang sepi. Hanya ada beberapa tumpuk manusia yang terlihat bersenda gurau. Bahkan tak ada yang bermain selancar. Rio melirik Agni yang berdiri di sampingnya. Agni tampak berbinar-binar menatap hamparan laut. Agni memang sangat suka pantai. Rio mengajak semuanya ke salah satu pondok. Mereka duduk di sana.
“Ag, selancaran yuk ?” Ajak Cakka semangat. Cakka sudah bersiap menarik Agni ke penyewaan papan selancar, tapi dengan gesit Rio menahan Agni dan melepas genggaman Cakka.
“Agni sama gue.” Tukas Rio.
“Aduh, Yo. Bukan saatnya cemburu-cemburuan deh. Yuk, Ag.”
“Eh, Cicak. Lo budek ya ? Agni selancaran sama gue. Gue pacarnya.” Rio berujar semakin tajam sambil memelototi Cakka.
“Ck,,, Si Rio gak asik. Pinjem ceweknya sebentar aja gak boleh. Huuu,,,” Cakka mencibir dan kembali duduk di samping Alvin yang masih anteng memainkan hp. Tiba-tiba mata Cakka membulat. Ia melihat jelas seorang gadis dengan hotpans hitam dan kaos merah sedang berselancar ria. Itu Agni. “Agni, Yo !” Pekik Cakka menunjuk ke pantai.
Rio menoleh. Matanya ikut membulat. “Agni ?”
“Dia sebel ngeliat kalian berantem. Trus pergi deh dia. Gue denger kok tadi dia pamit sama lo, Yo.” Celetuk Alvin tanpa memalingkan matanya dari layar hp. Malah semakin serius.
Rio berdecak sebal. Huh,,, gara-gara Cakka nih. Ia pelototi Cakka lalu menghempaskan tubuhnya di samping Alvin. Rio jadi gak mood main selancaran. Ia memilih memperhatikan Agni dan Cakka yang sekarang selancaran bareng. Rio menoleh ke Alvin.
“Smsan lo, Bro ?” Alvin menggeleng. “Terus ?”
“Lagi nyari pacar seiman.”
Deg,,, seperti ada hantaman keras sekeras-kerasnya sedang memukul jantung Rio bertubi-tubi. Alvin tersenyum sekilas lalu kembali larut dengan hp-nya. Rio langsung berubah muram dan sayu. Tatapan matanya kosong. Ia melempar-lempar pasir sembarang berharap rasa ketakutannya selama ini juga ikut terlempar. Ia alihkan pandangannya pada Agni. Agni terlihat senang sekali. Senyum kecil tersungging di sudut bibir Rio. Merasa kehancuran akan semakin mendekati ia dan Agni. Rio sadar, di antara ia dan Agni ada dinding besar dan sangat kokoh yang tak akan bisa dihancurkan. Rio seakan tercekik. Dalam mimpipun ia tak mau kehilangan Agni.
Senggolan Alvin membuyarkan lamunan Rio. Rio menoleh malas. “Napa, Vin ?” Bukannya menjawab, tapi Alvin malah celingak-celingung seperti orang linglung. Rio berdecak kesal. Ini Alvin nyari apaan sih ? “Kenapa sih, Vin ? Lo nyari apaan ?” Rio mulai tak sabar.
“Itu, kok si Cakka sendiri ? Agni mana ?” Alvin menunjuk ke pantai. Benar. Cakka Cuma sendiri. Tak ada Agni. Rio jadi gusar. Ia bangkit dan berlari tak sabar ke pinggiran pantai. Ia melihat sekeliling. Nihil. Agni tidak ada. Mata Rio menyipit melihat tangan menggapai-gapai di tengah laut. Rio seakan tersengat listrik. Tidak peduli teriakan Alvin yang penuh kekhawatiran. Rio sesegera mungkin berenang ke tengah laut. Detak jantung Rio seakan berhenti melihat wajah pucat yang tak sadarkan diri di pelukannya. Cepat-cepat ia bawa Agni ke tepi.
“Agni ! Bangung, Ag. Jangan bikin aku takut, Ag.”
Rio menguncang-guncang putus asa tubuh lemah Agni. Tak ada reaksi. Ia cek detak jantung Agni. Masih ada, namun putus-putus. Ketakutan Rio menjalar sampai ke otak. Ia guncang-guncangkan lagi tubuh Agni. mencoba menekan dadanya, tapi seperti tadi, tetap tak ada reaksi. Tak ada pilihan lain. Rio menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Agni. Rio menarik nafas, dan menghembuskannya kemulut Agni. Orang-orang yang mengerumuni mereka terpekik kaget. Rio tampak seperti orang kesetanan terus memberi nafas buatan pada Agni.
“Uhuukk,,,”
Semuanya tersenyum lega. Rio seketika memeluk Agni dan tanpa sadar ia menangis. Agni masih terlalu lemah membalas pelukan Rio. Ia hanya diam dengan nafas yang masih sepenggal-sepenggal. Rio menggendong Agni dan segera membawanya ke mobil. Alvin dan Cakka menyusul di belakang.
“Lo ceroboh.” Ujar Rio dingin. Walau Rio berbicara menghadap ke Agni, tapi Cakka tau itu untuknya. Cakka hanya dia memperhatikan Rio menyelimuti Agni. Ia tau ia salah. Wajar bila Rio marah. Karena Rio pernah mengatakan pada Cakka bahwa Agni harus selalu di dampingi saat selancaran, Agni cepat kram kakinya. Cakka ingat itu. Tapi tadi ia benar-benar keasyikan sendiri. Sampai lupa pada Agni. “Sayang, kita pulang ya ?” Rio mengelus sayang rambut Agni. Agni mengangguk lemah.
Rio berbalik. Ia melempar kunci mobil pada Alvin. “Gue yang bawa, Yo ?” Tanya Alvin memastikan. Rio mengangguk. Ia masuk ke pintu belakang. Di samping Agni.
“Gue mau nemenin Agni.”
Alvin mengangguk paham. Ia berlari kecil ke pintu pengemudi. Cakka ikut masuk ke dalam mobil. Mobil melaju. Sesekali Cakka melirik Rio dan Agni lewat spion. Ingin minta maaf, tapi raut wajah Rio sangat menakutkan. Dan Cakka memilih diam.
+++
Rio memandangi kalender dengan raut tak terbaca. Ia kembali gusar. Bahkan kali ini gusar yang sangat sangat gusar. Rio memandangi kalender di hadapannya lebih teliti lagi. Ia menghela nafas panjang. Tinggal tiga hari lagi. Waktu berlalu cepat rupanya. Pintu kamar Rio terbuka. Sesosok wanita dewasa masuk sambil membawa beberapa majalah. Rio tersenyum hangat. Ia mengajak Mami duduk di sofa dekat jendela kamar.
“Mario, kamu pilih sekarang. Ini Mami bawa beberapa contoh.”
Rio memandang nanar majalah-majalah fashion di hadapannya. Ia ambil salah satu. Tak ingin mengecewakan Mami. Ia balik-balik sebentar. “Terserah, Mami, aja deh. Mario bingung. Pilihannya terlalu banyak sih.”
Mami menunjuk sebuah gambar. Rio ikut memperhatikan dengan seksama gambar yang ditunjuk Mami. Rio mengangguk kecil. “Boleh juga, Mi. Bagus kok.”
“Yaudah, besok kita fitting ya, sayang. Kamu ada waktu kan ?”
“Pasti donk, Mam. Mami tenang aja.”
Mami mengelus lembut putra satu-satunya itu lalu melangkah keluar. Sepeninggalan Mami, muka Rio kembali muram. Gurat-gurat kebahagiaan yang ia tampakkan tadi hilang seketika. Ia menatap layar hp-nya resah. Wallpaper-nya Agni. Semakin hari ia semakin mencintai Agni. Rio tak yakin dalam waktu tiga hari ia mampu memutuskan Agni. Tapi ini sudah menjadi keputusan. Sampai kapanpun, dinding kokoh di antara mereka tak akan runtuh. Jalan satu-satunya hanyalah menyerah. Rio melempar begitu saja hp-nya. Membuangnya sembarang. Melihat wajah lucu Agni hanya membuat hatinya resah dan merasa bersalah. Menimbang-nimbang sebentar, Rio mengambil kunci mobil. Waktu terus berjalan, dan Rio sampai detik ini belum melakukan apapun. Rio terlalu takut melangkah.
+++
Rumah Alvin memang selalu tampak sepi. Rio menyeberangi ruang tamu, ia berhenti di dapur. Ternyata Alvin sedang mencuci piring. Rio kagum pada Alvin. Menurutnya Alvin ini berbeda dari cowok kebanyakan. Walaupun ia laki-laki, tapi ia tidak keberatan melakukan pekerjaan-pekerjaan perempuan seperti cuci piring bahkan memasak. Alvin bukan orang berada yang apa-apa ada pembantu. Tapi Alvin terlihat sangat bahagia. Rumahnya yang sederhana acap kali menjadi tempat nongkrong mereka kalau suntuk. Rio duduk lesehan di pintu masuk dapur.
“Vin,,,”
Gelas hampir saja jatuh. Rio terkikik. Dalam kondisi kaget begitu Alvin terlihat seperti emak-emak. Alvin melotot ganas. Selepas menyusun piring dan gelas di rak piring, Alvin ikut duduk lesehan di samping Rio. Tatapan matanya masih galak. Rio semakin terkikik.
“Untuk gak pecah. Kalau pecah, Ibu gue bisa ngamuk-ngamuk.”
“Yaelah, Vin. Kayak anak perawan lo ngomel-ngomel begitu.”
“Sialan lo.” Alvin menoyor kepala Rio. “Ngapain lo ke rumah gue ? Cuma mau gangguin gue cuci piring ?”
“Kalem, Bro. Gue mau curhat.” Wajah Rio berubah sendu. Ia menunduk dan menghela nafas putus asa. Alvin mengerti. Rio sudah pernah bercerita sedikit sebelumnya. Jadi Alvin lumayan mengerti apa yang dipikirkan Rio sekarang. Alvin menepuk pelan pundak sahabatnya.
“Lakuin sekarang, Yo. Cepat atau lambat lo juga tetap harus sakitin dia. Jangan berfikir dengan mengulur waktu malah menjadikan semua akan baik-baik aja. Salah, Yo.” Papar Alvin bijak.
“Tapi,,,”
“Rio, lo sama dia itu beda. Kalian gak mungkin sama-sama. Dulu gue kan udah bilang, gak usah sma dia.” Alvin berdecak. “Harusnya lo biarin aja dulu dia sama Cakka. Ribet kan lo sekarang.”
“Gue cinta mati sama Agni, Vin.” Ujar Rio, lirih. Kalau tidak mengingat sekarang sedang bersama Alvin, pasti Rio sudah menangis frustasi. Ia tatap Alvin. Ia menunduk lagi. “Gue harus gimana ? Gue gak mau putus Agni.”
“Yo,,,” Alvin menegakkan tubuh Rio. “Lo mau duain istri lo gitu ? Lo mau tetap pacaran dengan Agni sedangkan lo udah punya istri ? Sadar, Yo. Lo malah nyakitin dua orang sekaligus.”
Otak Rio membeku. Tidak bisa berfikir. Ia menatap lurus ke depan, namun kosong. Memorinya menari-nari jauh ke belakang. Membuatnya memiliki dunia sendiri sesaat. Alvin ikut diam. Bingung dengan sahabatnya ini. Rio tersenyum miris. Ia mulai berujar. “Iya, bener kata lo, Agni gak ada menarik-menariknya sama sekali. Dia ceroboh, heboh, dan hobbynya membahayakan. Tapi bagi gue itu sangat menarik. Apalagi waktu gue tau Cakka suka sama Agni, Agni semakin terlihat menarik. Sangat menarik.” Rio menoleh ke Alvin. “Dan karena kami beda, itu yang ngebuat dia semakin menarik di mata gue.”
“Yo, lepasin Agni. Kalian gak mungkin bersatu.”
Rio menghela nafas. “Gue tau, Vin. Thankz.”
“Errr,,, Kapan lo mutusin dia ?”
Rio menatap Alvin. “Gak akan pernah.” Ucap Rio tegas. Alvin tertegun. Sebegitu besarkah cinta Rio ke Agni ? Bahkan keyakinan tak membuat Rio berfikir jernih ? Alvin ikut menghela nafas. Mereka memilih duduk lesehan di pintu masuk dapur sambil menunggu ibu Alvin pulang.
+++
Dosakah aku mencintaimu, mendampingimu, menginginkamu ? Aku menjadi diri sendiri, tak peduli apa kata dunia. Yang ku nanti hari ketika cinta datang, cinta menang. Jadi sayangku bertahanlah bila terkadang mulutnya kejam.
+++
Fitting baju sampai sore membuat Rio tak mempunyai waktu untuk Agni sama sekali. Ia benar-benar kangen Agni. Dua hari tak bertemu Agni membuat sendi-sendinya semakin lemas. Ia bahkan tak sempat menelpon dan meng-sms Agni. Panggilan dari Agni pun sama sekali tak ia jawab. Mengingat Mami yang menaruh harapan penuh padanya, membuat Rio sama sekali tak ada pilihan kecuali menyanggupinya. Rio menatap nanar wallpaper hp-nya. Ia kembali resah dan gusar. Apa yang harus ia katakan pada Agni ?
“Yo, aku pulang bareng Pak Min aja ya. Kamu keliatan lelah banget. Kamu gak usah anter aku.” Aren berujar lembut sambilan memakai kembali syal-nya. Ia menghampiri Mami. “Mi, Aren pilih gaun kedua deh kayaknya.”
“Lho, kenapa sayang ?”
“Abisnya yang pertama ribet banget. Lagian,,,” Aren melirik Rio. “Mario kan lebih suka yang simple, Mi.”
Rio tak terlalu mendengar obrolan Aren dan Mami. Dalam pikirannya hanya ada Agni. Ingin segera menelpon Agni, tapi masih ada Mami dan Aren. Rio mendesah pasrah. Kisah cinta memang tak selalu berujung bahagia. Setidaknya Rio sedang merasakannya sekarang.
+++
Kini tiba saatnya untuk merenungkan, apa ini yang memang kita inginkan ? Saatnya untuk mencari di segenap penjuru hati, apa kita mau menerima yang kita punya apa adanya ?
+++
“Besok ?” Rio langsung terduduk di tempat tidur. Sedetik kemudian ia malah mondar-mandir bingung. Ia mengetuk-ngetuk dahinya sendiri. “Gak bisa deh kayaknya.”
Agni mendesah kecewa. “Yaaahhh,,,,”
“Emangnya mau kemana sih, Sayang ?”
“Ke pesta pernikahan temen aku. Masa’ aku pergi sendiri sih ? Riooo,,, ikut donk.” Agni merengek manja sambil sesekali menghela nafas kesal. Ia jadi keki sendiri dengan Rio.
“Tapi aku beneran gak bisa, Ag. Aku udah janji duluan sama Mami.” Rio menggigit bibir bawahnya takut. Takut Agni menyadari kalau dia berbohong. “Eh, tunggu, tadi kamu bilang pesta pernikahan ?”
Darah Rio langsung berdesir mendengar sahutan ‘iya’ dari seberang. Pesta pernikahan ? Besok ? Apakah semua orang berfikir besok adalah hari yang bagus untuk menikah ? Rio semakin gusar dan ketakutan. Ia berjalan ke balkon, tak sampai sedetik ia sudah rebahan di kasur, lalu kembali mondar-mandir. Kepala Rio mendadak pusing. Agni yang merasa Rio tak menanggapinya berteriak agak kencang.
“RIO !”
“I,,,iya, aku masih di sini kok.” Rio mengatur nafasnya. Kamarnya mendadak jadi sumpek dan kekurangan kadar oksigen. “Pergi sama Cakka aja gimana ?” Kalau bukan karena terpaksa, Rio tak akan sudi menyebut nama Cakka apalagi menyarankan menjadi pasangan Agni untuk pergi ke acara teman pacarnya itu besok. Ini sama saja memberikan peluang untuk Cakka merebut Agni. Rio menggeleng cepat dan buru-buru mengubah usulannya. “Gak usah deh. Jangan pergi sama Cakka.”
“Lho ? Plinplan ih.”
“Ehmm,,, gak usah pergi aja gak papa kan, Ag ?” Tanya Rio hati-hati.
“Tapi dia temen baik aku.”
Rio berfikir sebentar. “Yaudah deh, boleh sama Cakka. Daripada kamu sendiri.”
Telepon pun di tutup dengan hasil akhir Agni pergi dengan Cakka. Rio kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Merenggangkan otot-ototnya, dan menyiapkan mental untuk melakukan hal terburuk yang pernah ia lakukan. Pintu kamar Rio terbuka perlahan. Mami masuk dengan raut dingin. Rio segera bangkit dan duduk berdampingan dengan Mami di sofa dekat jendela.
“Mami dengar semuanya.” Ujar Mami tanpa penekanan sedikitpun. “Mario, sejak kapan kamu tega menyakiti hati seorang wanita ?” Suara Mami bergetar. Rio hanya menunduk menunggu kelanjutan perkataan Mami. Jari-jarinya mulai ingin. Ia semakin ketakutan. “Dia gak salah, Mario. Kamu gak seharusnya mengajak dia masuk ke kehidupan kamu. Bukannya dulu kamu bilang kamu dan dia sudah putus ?”
Rio tetap diam. Jiwanya seakan melayang-layang entah kemana. Rasa takut, sedih, sakit, marah. Semua bercampur di dada Rio.
“Kamu menyakiti Mami, Aren, dan,,, Agni.” Intonasi Mami melemah saat menyebut Agni. seperti ada rasa kecewa yang teramat sangat. “Tiga wanita sekaligus, Mario. Kamu kelewatan.”
“Mi, aku minta maaf.”
“Itu gak akan mengubah semua. Bagaimana nasib Agni kalau tau besok kamu menikah dan sampai detik ini kalian masih berpacaran ? Kamu mau melihat dia bunuh diri ? Jangan konyol, Mario.” Mami meraih jemari Rio. “Mario, semua sudah terlambat.” Mami beranjak meninggalkan Rio yang masih membatu di tempat duduknya. Setetes air bening merembes di sudut mata Rio. Isakan-isakan kecil mulai terdengar. Berlanjut jadi teriakan frustasi dan jerit histeris.
Rio merosot ke lantai. Bibirnya kelu. Tak sabar ia ambil hp-nya dan memeluk hp itu erat-erat. Seakan itulah benda berharga Rio satu-satunya. Hanya itu yang ia punya sekarang. Hanya foto Agni yang bisa ia peluk erat. Besok adalah awal bagi Rio tanpa Agni. Dan parahnya itu untuk selamanya. Selamanya yang sangat lama.
+++
Pesta kebun. Serba hujau putih. Sangat sejuk dan menenangkan. Makanan dan minumanpun adalah hidangan yang ringan-ringan namun tetap istimewa. Tamu mulai berdatangan. Udara pagi yang sejuk membuat senyum merekah menghiasi setiap tamu yang datang. Rio yang di balut jas putih dengan kemeja hijau segar, tampak sangat tampan dan gagah. Ia berdiri tenang di depan pendeta menunggu mempelai wanita. Senyum tak lepas dari bibir Rio. Rio sangat menikmati hari ini. Hari yang terpaksa membuat ia berkhianat terang-terangan. Rio memandang sekeliling. Nafas lega segera menghujani Rio. Kekhawatirannya sepertinya hanya buang-buang waktu saja. Dari arah berlawanan tibalah Aren dengan gaun putih berhiasan mutiara-mutiara kecil warna hijau. Serasi dengan Rio. Mereka berdua bertemu di altar.
“Kalian berdua resmi menjadi suami istri.”
Tepuk tangan meriah mengiringi ucapan pendeta. Rio membuka penutup wajah Aren dan mengecup kening Aren. Selanjutnya penyematan cincin yang juga di ikuti tepuk tangan meriah. Mami tersenyum bahagia, begitu pula orangtua Aren. Para tamu mulai menikmati makanan. Dan pengantin berjalan berkeliling hanya untuk sekedar bertegur sapa. Aren tersenyum senang melihat seseorang yang memang ia nantikan.
“Sayang, kenalin. Ini sahabat baik aku.”
Mata Rio seakan ingin keluar dari porosnya. Dan ada jutaan pisau yang menghujam tempurung kepalanya. Darah dan jantungnya seakan berlomba. Agni. di hadapan Rio kini ada Agni yang sedang mengulurkan tangan dengan senyum bahagia menghiasi bibir mungilnya. Suara Rio tersangkut di kerongkongan mendengar suara ceria Agni.
“Ya ampun, Ren. Ini mah aku kenal. Rio kan juga temen aku.” Seru Agni riang. Tanpa beban apapun. Aren tertawa renyah mendengarnya. Rio menjadi semakin pusing. Ia hampir saja menabrak pelayan yang sedang membawa minuman. Untung cepat ditahan oleh Aren.
“Mario, kamu kenapa ?”
“Pusing kali. Kan baru married. Pusing mikiran malam pertama entar. Ya gak, Yo ?” Cakka berseloroh setengah menyidir. Tapi jelas terselip nada kebencian dan kemarahan dari selorohan Cakka barusan. Cakka pamit pada Aren dan Rio. Ia tak lupa menyeret Agni untuk ikut bersamanya. Alasan Cakka adalah tiba-tiba sakit perut. Padahal,,,
+++
Tangis Agni tak juga berhenti. Matanya sampai merah dan bengkak. Rambut Agni acak-acakan dan semua riasan Agni luntur. Agni tak lagi sanggup berkata-kata. Ia hanya diam sambil terisak-isak memilukan di pelukan Cakka. Andai ia bisa marah pada Rio. Tapi mengingat Aren,,, Aren sahabat baik Agni. Sahabat yang terbaik. Tak pernah sekalipun Aren menyakiti Agni. Lalu kenapa Agni harus menyakiti Aren ? Agni kembali menangis tersedu-sedu. Cakka semakin tidak tega. Pelukannya semaki erat dan erat. Seakan Agni akan terbang kalau ia melonggarkan sedikit saja. Walau pantai sudah sepi, tapi mereka tetap diam. Tanpa sadar Cakka ikut menangis. Dia kesal, harusnya tadi ia membunuh Rio.
+++
Tiga tahun berlalu sejak peristiwa Agni melihat pacarnya menikah dengan sahabat baiknya. Walau sebenarnya ia telah menyiapkan segala kesakitannya, tapi ternyata itu sangat sakit. Keyakinan memisahkan mereka. Baik jarak maupun waktu. Tapi hati, selalu berkhianat. Agni sadar, untuk apa terpuruk terlalu dalam. Semuanya sudah selesai seiring kata ‘putus’ terlontar dari mulutnya di keesokan hari setelah ia datang ke pernikahan Rio. Ternyata Rio,,, ah sudahlah cerita Rio sudah habis. Agni tak mau memikirkan itu lagi. Rio dan Agni memang tak bisa bersatu. Selamanya. Selamanya yang sangat lama.
Sekarang,,,
Agni hanya diam bercampur bingung menatap cowok sinting di depannya. Kenapa sinting ? Karena cowok ini memang sinting. Dia Cakka. Iya, Cakka. Bukan Rio. Cakka sedang duduk manis di hadapan Agni sambil memperlihatkan puluhan gambar cincin yang membuat mata Agni nyaris katarak. Kadang Agni berfikir, kenapa ia harus menerima Rio sedangkan dulu Cakka yang terlebih dulu membuat hatinya berdebar ? Andai saja dulu Agni sedikit berfikir lebih jeli, mungkin ia tak akan menghabiskan waktu dua tahunnya hanya untuk meratapi nasib.
Cakka gemas melihat Agni yang tak kunjung memberikan pendapat. Cakka bangkit dan duduk di samping Agni. Ia peluk mesra pinggang ramping Agni, ia rebahkan kepalanya di kepala Agni. “Gak asik ah. Yaudah, biar aku aja yang milih.” Cakka berujar setengah merengeng. Sangat kekanak-kanakan.
“Kalau gitu kenapa minta pendapat ?”
“Kan kamu juga pakai cincinnya, jadi harus kasih pendapat juga donk.”
“Aku suka semua pilihan kamu.” Aku Agni pelan, tersipu. Wajahnya menghangat merasakan pelukan Cakka yang semakin erat. “Aku pasti setuju.”
Cakka melepas pelukannya lalu menatap Agni dengan mata berbinar. Menurut Agni, Cakka terlalu kekanak-kanakan dan polos. Terlalu lugu untuk ukuran pria dewasa. Tampangnya yang selalu menampakkan raut childish, dan rengekan yang selalu terdengar saat dia kesal dengan Agni. Awalnya Agni sangat jengah dengan Cakka yang –masih selalu diingat- berbeda jauh dengan Rio. Rio dewasa. Tidak. Agni menetapkan dalam hati, Rio telah menyakitinya. Di hadapannya kini ada Cakka. Cerita tentang Rio telah habis.
“Sayang,,,” Cakka memeluk Agni kembali. “Jangan inget-inget Rio lagi ya. Aku cemburuuu...”
“Iya Cakka-ku sayaaaang...”
“Berbeda itu indah, tapi akan sulit di satukan. Andai dulu kamu lebih ngliat aku, Ag,,,” Suara lirih Cakka menggantung, dilanjutkan dengan desah nafas pelan. Tapi semua cukup terdengar di telinga Agni. Andai memang dulu ia lebih melihat Cakka, mungkin akan lain ceritanya. Agni semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Cakka.
+++
“Andai gue Cakka,,,,”
Di sudut sebuat tempat, seseorang selalu bergumam seperti itu.
+++
Kini tiba saatnya untuk merenungkan, apa ini yang memang kita inginkan ? Saatnya untuk mencari di segenap penjuru hati, apa kita mau menerima yang kita punya apa adanya ? Sanggupkah kita saling meredam ? Ataukah hanya saling bertahan ? Sanggupkah kita untuk memaafkan ? Ataukah hanya saling menyalahkan ? Akhirnya kita temukan pahitnya persimpangan, saat harga diri seolah segalanya, mahal harganya.
Fin---
+++
Song,,,
‘Salahkah Aku _ Tia AFI’
‘Dosakah Aku _ Nidji’
‘Persimpangan _ The Rain’
weissss, mantap coy..
BalasHapushahaha..
makin keren aja nih dek bikin ceritanya..
suka-suka...
ujung-ujung nya tetep cagni, mau diapain juga awalnya akhirnya pasti cagni...
hahahahaha...
bikin terus ya dek, tp kalo bikin kasih tau kk donk...
keren kak :)
BalasHapusKEREN BANGET!!!!
BalasHapuskakivon : hehehe,,,mksih kk. ^^
BalasHapuszikri : makasih,,, ^^
sinta : makasih,,, ^^